Selasa, 12 Mei 2009

Makalah Kewarganegaraan


MAKALAH
ELEMEN SISTEM TENAGA INDUSTRI

Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Utilitas










TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2006


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan hidayahnya kepada hamba – hambanya yang dikehendaki. Shalawat serta salam terlimpahkan kepada nabi besar Muhammad Saw. dan kepada para pengikutnya. Demikian pula rasa syukur penulis sehingga penulisan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini dapat terselesaikan berkat bantuan yang diberikan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dra Margaretha S selaku dosen pengampu mata kuliah kewarganegaraan
2. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. “Tak ada gading yang tak retak”, untuk itu kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun demi menuju kesempurnaan makalah ini selalu penulis perlukan.



Semarang, April 2005


Penulis






DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar……………………………………………………………………ii
Daftar Isi………………………………………………………………………….iii
Abstrak …………………………………………………………………………....1
Bab I Pendahuluan………………………………………………………………...2
Bab II Permasalahan………………………………………………………………3
Bab III Pembahasan……………………………………………………………….4
III. 1 Pengertian Politik Uang (Money Politics)...……………………......4 III. 2 Sumber Politik Uang (Money politics )……………………………..5
III. 3 Bentuk–bentuk Politik Uang Dalam Pemilu atau Pilkada…………..5
III. 4 Cara Mendeteksi Akal Bulus
yang Menggunakan Fulus (Politik Uang )…………………………..7
III. 5 Pagar Pembatas Untuk Mencegah Berkembangnya Politik Uang…..9 III. 6 Dampak Buruk Politik Uang Terhadap Kehidupan Demokrasi Indonesia…………………………………………………………………10
Bab IV Penutup…………………………………………………………………..12
IV. 1 Kesimpulan………………………………………………………...12
IV. 2 Saran……………………………………………………………….12
Daftar Pustaka……………………………………………………………………13







BAB I
PENDAHULUAN

Untuk pertama kalinya rakyat Indonesia pada 5 Juli 2004 kemarin memasuki era demokrasi langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden. Sebagaimana bangsa-bangsa moderen di belahan bumi ini, rakyat Indonesia memilih demokrasi bukan karena tanpa kesadaran. Bahwa demokrasi bukanlah sistem politik yang terbaik, apalagi satu-satunya yang paling baik. Demokrasi dipilih oleh mayoritas bangsa dan negara di muka bumi ini karena dianggap sebagai sistem politik yang tingkat keburukannya sedikit ketimbang sistem politik lainnya. Namun momentum itu pulalah yang juga menjadi titik krusial bagi perjalanan politik bangsa Indonesia ke depan.
Kenapa krusial? Demokrasi 5 Juli akan menjadi keberuntungan bagi Indonesia jika presiden dan wakil presiden yang dipilih adalah sosok yang kompeten, demokratis, cakap, berkepribadian tangguh, visioner, dan memiliki kemampuan serta komitmen tinggi untuk melaksanakan reformasi dan penyelamatan bangsa, lebih jauh lagi membawa Indonesia menjadi negara dan bangsa yang maju dan bermartabat selama lima tahun ke depan.
Sebaliknya demokrasi 5 Juli akan menjadi beban nasional baru manakala presiden dan wakilnya yang terpilih tidak kompeten dan tidak membawa perubahan yang signifikan bagi Republik yang tengah sakit kronis ini, padahal mandat rakyat sepenuhnya telah diserahkan kepadanya. Keadaan bahkan akan lebih tragis jika dengan mandat rakyat yang penuh itu justru lahir pemerintahan yang kembali otoritarian, kendati kata sebagian orang hal seperti itu tidaklah mungkin karena sistemnya memberi kontrol yang ketat. Tapi apalah yang tak mungkin dalam politik, lebih-lebih politik Indonesia yang sulit ditebak.
Namun dibalik demokrasi 5 juli tersebut terdapat penyakit – penyakit politik yang sudah menjadi ritual bangsa ini sebut saja politik uang (Money Politics). Politik uang termasuk belut politik, yang nyata dan besar-besaran tetapi sulit dijerat dalam sistem hukum politik Indonesia. Para calon cerdik betul bagaimana memainkan fungsi politik uang. Rakyat pun seolah makin pintar pula menjadi penadah dan ikut memainkan ritme politik uang itu. "Ambil uangnya, jangan piliih partai atau orangnya", adalah slogan yang kini dipopulerkan untuk menangkal pengaruh buruk politik uang, tetapi sekaligus bentuk frustrasi orang-orang rasional dalam menghadapi predator politik uang di kancah politik nasional.
Untuk itulah dalam makalah ini akan dibahas mengenai budaya politik uang dalam demokrasi Indonesia pada umumnya dan dalam pemilu pada khususnya, serta dampak buruk politik uang dalam dalam demokrasi Indonesia dan pemilu tersebut.











BAB II
PERMASALAHAN

Dalam demokrasi Indonesia, politik uang memang sudah dan masih menjadi momok dalam demokrasi Indonesia khususnya pemilu. Politik uang merupakan permasalahan yang sangat nyata dan juga kompleks dalam percaturan politik Indonesia. Maka dalam makalah ini dapat dirumuskan mengenai permasalahan politik uang , yaitu :
1.Pengertian politik uang ( Money Politics)
2.Sumber – sumber money politics .
3.Bentuk – bentuk politik uang dalam pemilu atau pilkada.
4.Cara mendeteksi akal bulus yang menggunakan fulus (politik uang ).
5.Pagar pembatas untuk mencegah berkembangnya politik uang.
6.Dampak buruk politik uang terhadap kehidupan demokrasi Indonesia .









BAB III
PEMBAHASAN

III.1 Pengertian Politik Uang (Money Politics)
Dibandingkan dengan sumber daya lain sebagai pengendali, uang mempunyai kelebihan, yaitu likuid, mudah dipindahkan dan tidak beridentitas, sehingga sulit dilacak. Karakteristik inilah yang dibutuhkan untuk melicinkan manuver-manuver para politikus. Namun menurut Herbert E. Alexander, uang hanya sebagai instrumen. Peran pentingnya justru bagaimana orang tertentu menggunakan uang untuk mendapatkan pengaruh, ditukar atau dikombinasikan dengan bentuk sumber daya lain guna meraih kekuasaan politik.
Faisal Basri, Sekjen Partai Amanat Nasional, mempunyai pandangan yang lebih sederhana. Money politics adalah setiap pemberian bantuan, baik dalam bentuk uang maupun non-uang yang diduga atau patut diduga dapat mempengaruhi dalam pemilihan umum.Kolaborasi, dengan uang sebagai perekat, dapat terjadi antara sesama anggota kelompok strategis ataupun antara elit politik dengan massa paling bawah. Namun, hal ini hanya berlaku pada waktu yang singkat, dan kadar loyalitas yang rendah, sehingga tidak efektif dipakai sebagai untuk jual-beli pengaruh dalam jangka panjang. Walaupun tidak semua kolaborasi dengan uang sebagai perekat dapat secara otomatis berindikasi money politics, namun di balik semua itu, money politics potensial terjadi.
Dari hasil penelitiannya, Cornelis Lay (The Economic Base of Political Parties in Indonesia, 1994) menemukan bahwa politik-bisnis di masa Orde Baru didominasi oleh kolaborasi antara militer, birokrasi dan pelaku bisnis. Penguasa menggunakan kekuasaan dan posisi mereka untuk mangakumulasi sumber ekonomi. Sementara si mitra bisnis mengeksploitasi hubungan patronase itu demi kepentingan bisnis.

III.2. Sumber Politik Uang ( money politics )
Birokrasi dan pengusaha merupakan sumber utama money politics, tidak hanya dalam lingkup dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri, karena money politics tidak mengenal batas negara. Pengamat politik Nurcholis Madjid dapat memahami bahwa Indonesia sebagai negara yang kaya dan sangat luas, membuat masyarakat internasional turut berkepentingan terhadap stabilitas Indonesia. Ini tercermin dari antusiasme negara-negara donor dalam mengucurkan dana bantuan pemilu.
Dalam lingkup dalam negeri, pengamat politik Cornelis Lay dari Universitas Gajah Mada mengklasifikasikan sumber mobilisasi dana politik demi kepentingan partai dalam tiga kelompok, berdasarkan kapasitas financing-nya di masa Orde Baru.
Pertama: dengan beban Rp 1 milyar. Biasanya dari kalangan pengusaha atau konglomerat yang dibesarkan dan dilindungi oleh Soeharto.
Kedua: dengan beban Rp 500 juta.
Ketiga: dengan beban Rp 200 juta. Biasanya pengusaha daerah.
Aloysius Gunadi Brata juga membagi tiga sumber pembiayaan politik uang. Pertama: berasal dari kantung pribadi. Masalahnya, uang yang diperoleh belum tentu dari sumber yang legal. Malah diduga kuat sebagian besar dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua: Memanfaatkan kekayaan negara. Ketiga: Pengeluaran pemerintah.
III.3.Bentuk – bentuk Politik Uang Dalam Pemilu atau Pilkada
Ada banyak cara untuk menerapkan money politics dalam pemilihan umum atau Pilkada, antara lain :

1. Operasi fajar.
Biasanya dilakukan pada hari pelaksanaan pemungutan suara.
2 .Bujukan politik (political seduction).
Menurut Mulyana W. Kusumah, berupa penerimaan uang yang dapat mempengaruhi proses penentuan caleg, pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan hasil pemilu. Namun prakteknya sulit dicermati karena para pimpinan parpol, baiasanya sangat tertutup.

3. Sumbangan kas dinas.
Menurut Mulyana W. Kusumah hal ini termasuk penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang tehadap keuangan negara.
4. Mobilisasi dana pemilu.
Biasanya dalam bentuk "sumbangan paksa" dari pengusaha untuk membiayai operasi pemenangan kekuatan politik tertentu oleh pejabat pemerintahan.
5. Sumbangan diskriminatif.
Berjumlah besar hanya pada parpol tertentu.
6. Sumbangan sesuka hati.
Secara individu dan tak terbatas jumlahnya kepada parpol peserta pemilu.

7. Konsolidasi dana melalui operasionalisasi bisnis partai.
Misalnya penggalangan dana dengan berkedok di balik nama yayasan. Misalnya: Yayasan Dana Karya Abadi (Dakab) yang mengumpulkan dana bagi Golkar semasa Orde Baru.
Modus serta sumber politik uang yang tetap ada hingga kini, merupakan warisan masa lalu. Money politics terpelihara secara sistematik oleh kebiasaan melakukan transaksi off-budget (di luar anggaran resmi) dengan tujuan agar dapat lolos dari pengawasan rakyat dan lembaga legislatif. Inilah yang coba dicegah oleh Undang-undang Partai Politik dengan membatasi sumbangan bagi parati politik. Sayangnya, audit yang dilakukan kantor akuntan publik independen justru menemukan banyak keuangan partai politik yang tidak beres

III.4. Cara Mendeteksi Akal Bulus yang Menggunakan Fulus (Politik Uang )

Istilah ‘politik uang’ (money politics) belakangan menjadi populer, seiring dengan meningkatnya rasa khawatir masyarakat terhadap penggunaan uang untuk memenangkan kepentingan politik tertentu secara tidak adil dan jujur.

Namun, apa saja yang termasuk dalam pengertian politik uang itu? Bagi Komite Independen Pemantau Pemilu, ada lima jenis perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai politik uang. Setiap bentuk perbuatan penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang berupa penggunaan keuangan negara yang bertujuan untuk secara langsung atau tidak langsung menguntungkan partai politik tertentu, atau dilakukan dalam rangka memfasilitasi calon legislatif tertentu. Ini berbeda dengan bantuan yang secara resmi diberikan oleh pemerintah untuk partai politik peserta pemilu. Jenis perbuatan tersebut dapat digolongkan sebagai kejahatan dalam jabatan (occupational crime) atau kejahatan korupsi yang dapat dipidana berdasarkan pasal-pasal pidana tentang kejahatan jabatan dalam KUHP maupun UU No 3/1971 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Money politics yang dilakukan dalam konteks pengembangan jaring penyelamat politik (political safety net), yakni penggunaan uang atau penyaluran uang yang berasal dari kekuatan politik dan ekonomi dengan tujuan untuk memelihara kepentingan-kepentingan mereka.
Praktek-praktek bujukan politik (political seduction), berupa pemberian uang (dan di sisi lain penerimaan uang) yang bertujuan untuk secara tidak sah mempengaruhi proses penentuan calon legislatif, pemungutan dan penghitungan suara, serta penetapan hasil-hasil pemilu.
Praktek yang dilakukan dengan melanggar ketentuan tentang sumbangan dan pelaporannya, baik kepada calon legislatif maupun partai politik sebagaimana diatur dalam UU Partai Politik.Money politics yang terjadi ketika calon legislatif, partai politik, atau pihak lain yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu menerima pemberian barang atau uang yang bersumber dari bisnis ilegal atau terbukti berasal dari money laundering (pencucian uang).
Sementara Djohermansyah Djohan, dalam tulisannya pada harian Republika edisi 14 Desember 1998, menyebutkan selama pelaksanaan pemilihan umum oleh Orde Baru terjadi banyak kecurangan, yang terutama dilakukan oleh organisasi sosial politik yang berkuasa, bekerjasama dengan birokrasi pemerintahan yang berpaham monoloyalitas (kesetiaan tunggal hanya kepada Golkar). Kecurangan ini antara lain:
1. Rezeki pemilu
Berupa pembagian amplop berisi sejumlah uang kepada calon pemilih menjelang hari pencoblosan.
2. Operasi Fajar
Dikerjakan oleh organisasi politik peserta pemilu di banyak pedesaan. Pagi-pagi sekali sebelum berangkat ke tempat pemungutan suara (TPS), rumah penduduk diketuk oleh kader orsospol itu yang menyodorkan uang beberapa ribu rupiah dan pesan agar menusuk tanda gambar orsospol mereka.


3.Dana partisipasi pemilu
Dalam bentuk sumbangan paksa yang dikenakan kepada para pengusaha swasta oleh pejabat pemerintah untuk membiayai operasi pemenangan kekuatan politik tertentu. Sebagian uang panas ini kabarnya "ditilep" oleh pejabat yang bersangkutan.

4.Sumbangan diskriminatif
Yaitu pemberian bantuan dari BUMN dan BUMD hanya kepada orsospol berlambang beringin. Sementara PPP dan PDI "gigit jari".
5.Sumbangan sesuka hati
Berupa bantuan tidak terhitung yang diberikan baik oleh perorangan maupun perusahaan kepada orsospol peserta pemilu yang berafiliasi pada pemerintah. Akibatnya terjadi kesenjangan antar partai.
6.Sumbangan kas dinas
Biasanya berwujud pemakaian uang kantor oleh pejabat pemerintah untuk membiayai urusan orsospol tempat mereka juga berkiprah.
7.Bisnis partai
Berbentuk yayasan yang berorientasi profit making, seperti Yayasan Dakab yang dipimpin Ketua Dewan Pembina Golkar, Soeharto, yang saat itu menjadi presiden.

III. 5. Pagar Pembatas Untuk Mencegah Berkembangnya Politik Uang

Untuk mencegah berulangnya praktek-praktek yang tidak sehat ini, Undang-undang Partai Politik maupun Undang-undang Pemilihan Umum memancangkan sejumlah peraturan, antara lain:
1. Menegaskan status partai politik sebagai organisasi yang tidak mencari keuntungan (UU Parpol pasal 13 ayat 1), dan karenanya dilarang mendirikan badan usaha atau memiliki saham badan usaha (pasal 13 ayat 2)
2. Membatasi sumbangan bagi partai politik (UU Parpol pasal 14) sebesar Rp. 15 juta per tahun untuk sumbangan perorangan (ayat 1) serta Rp. 150 juta pertahun untuk sumbangan badan usaha (ayat 2). Sumbangan dalam bentuk barang dinilai menurut nilai pasar yang berlaku (ayat 3). Daftar sumbangan ini wajib dipelihara dan terbuka untuk diaudit Akuntan Publik (ayat 4). Pelanggaran atas batas maksimal sumbangan ini diancam dengan pidana kurungan selama tiga tahun atau pidana denda Rp. 100 juta, baik pemberi, penerima maupun perantara (Pasal 19).
3. Mewajibkan partai politik melaporkan daftar sumbangan ini pada Mahkamah Agung setiap tahun serta 15 hari sebelum dan 30 hari setelah pemungutan suara UU Parpol pasal 15 ayat 1). MA dapat menunjuk Akuntan Publik untuk memeriksa laporan ini sewaktu-waktu (ayat 2).
4. Melarang partai politik untuk menerima sumbangan dan bantuan dari pihak luar negeri, baik pemerintah maupun badan usaha (pasal 12 ayat 4 dan pasal 16 ayat b).
5. Melarang siapapun maupun pihak manapun untuk menyuap atau memberi janji suap agar seseorang tidak menggunakan hak pilih atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu. Pelanggaran atas ketentuan ini diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga tahun, yang berlaku bagi pihak yang memberi maupun yang menerima. (UU Pemilu pasal 73 ayat 3).
III. 6. Dampak Buruk Politik Uang Terhadap Kehidupan Kemokrasi Indonesia
Sebutlah predator politik uang, predator kecurangan atau manipulasi, predator serangan fajar di minggu tenang, ketiganya sangat membahayakan bagi pertumbuhan demokrasi, bahkan mematikan demokrasi, yang implikasinya buruk bagi pertumbuhan karakter dan kehidupan bangsa
Money politics atau politik uang menjadi ancaman kesuksesan pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Sebab, calon yang terpilih dengan cara money politics, dipastikan tidak bisa melayani masyarakat dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Dampak money politics akan menghasilkan pemimpin yang tidak jujur, juga memunculkan pragmatisme demokrasi," kata Ketua Komisi II DPR Drs. H. Ferry Mursidan Baldan .Selain dampak buruk politik uang, pemilu atau pilkada langsung juga akan diartikan sebagai proses demokrasi yang mahal dan paling berbahaya, jika jiwa demokrasi tidak dijadikan landasan. "Yang paling berbahaya adalah terjadinya konflik terhadap hasil pemilihan, artinya satu sama lain tidak mau menerima kekalahan, sehingga ada potensi untuk kembali pemilihan tidak langsung.









BAB IV
PENUTUP

IV. 1. Kesimpulan
Dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa :
Demokrasi bukanlah sistem politik yang terbaik, apalagi satu-satunya yang paling baik. Demokrasi dipilih oleh mayoritas bangsa dan negara di muka bumi ini karena dianggap sebagai sistem politik yang tingkat keburukannya sedikit ketimbang sistem politik lainnya.
Money politics adalah setiap pemberian bantuan, baik dalam bentuk uang maupun non-uang yang diduga atau patut diduga dapat mempengaruhi dalam pemilihan umum. Politik uang memang sudah dan masih menjadi momok dalam demokrasi Indonesia khususnya pemilu. Politik uang merupakan permasalahan yang sangat nyata dan juga kompleks dalam percaturan politik Indonesia.
Modus serta sumber politik uang yang tetap ada hingga kini, merupakan warisan masa lalu yang telah menjadi budaya. Untuk mencegah berulangnya praktek-praktek yang tidak sehat seperti politik uang, telah dikeluarkan Undang-undang Partai Politik maupun Undang-undang Pemilihan Umum. Politik uang sangat membahayakan bagi pertumbuhan demokrasi, bahkan mematikan demokrasi, yang implikasinya buruk bagi pertumbuhan karakter dan kehidupan. Dampak money politics akan menghasilkan pemimpin yang tidak jujur, juga memunculkan pragmatisme demokrasi bangsa.
IV. 2. Saran
Politik uang merupakan momok dalam demokrasi Indonesia , untuk mencegahnya penerapan undang-undang yang telah dibuat (Undang-undang Partai Politik dan Undang-undang Pemilihan Umum) harus dilaksanakan secara murni dan konsekuen, serta diperlukan kesadaran dari masing-masing kalangan akan bahayanya politik uang dalam kehidupan demokrasi Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Media Transparansi . Edisi 5 Februari 1999.
Media Transparansi . Edisi 9 Juni 1999.
Pikiran Rakyat, Terbitan Kamis, 14 April 2005.
www.indonesiamu.com.
www.percik.or.id.